Mimpi + Usaha =
Kenyataan
Namaku Anya Andini Putri. Aku
anak kedua dari dua bersaudara. Aku terlahir dari keluarga yang tergolong tidak
mampu. Aku tinggal bersama ayahku. Ibuku sudah meninggal dua tahun yang lalu
ketika aku duduk di kelas tiga SMP. Sementara kakakku sekarang berada di
Padang. Ia tinggal bersama nenekku. Aku sekarang bersekolah di SMAN 01 Jakarta.
Tepatnya aku sekarang duduk di kelas dua SMA. Alhamdulillah atas keceredasan
yang Allah berikan padaku aku dapat bersekolah di SMA favorit itu dengan
mendapatkan beasiswa. Aku sering mengikuti perlombaan-perlombaan dan juga
olimpiade-olimpiade untuk mewakili sekolahku. Dan Alhamdulillah juga aku di sana
memiliki dua orang sahabat yang amat baik padaku. Mereka berdua adalah Monika
dan Anisa. Mereka berdua adalah sahabat terbaikku. Padahal mereka berdua itu
orang kaya, tetapi entah kenapa mereka mau menjadi sahabatku.
***
Suatu hari ketika aku baru datang
dari sekolah dan akan memasuki kelas tiba-tiba Monika dan Anisa langsung
memanggilku dan berkata,
“Anya, tadi kamu dicariin Pak
Kepsek tuh. Gak tau kenapa. Cepet deh kamu kesana!. Kayaknya penting deh”, ujar
Monika padaku.
Mendengar pemberitahuan dari
Monika aku langsung bergegas menuju ruang kepala sekolah. Dan sampailah aku
disana.
“Permisi, Pak. Tadi bapak
mencari saya?”, tanyaku pada Pak Kepsek.
“Iya, Anya. Silakan duduk!”,
jawab Pak Kepsek.
Lalu akupun duduk dengan
perasaan takut jika aku mendapatkan masalah.
“Ada apa bapak mencari
saya?”, tanyaku pada Pak Kepsek.
“Anya, dua minggu lagi
sekolah kita akan mengikuti Olimpiade Sains Tingkat Nasional (OSTN) Fisika yang
diadakan oleh Universitas Indonesia. Saya dan guru-guru yang lain sudah
memutuskan bahwa yang akan mewakili sekolah ini dalam mengikuti OSTN Fisika itu
adalah kamu Anya. Apakah kamu bersedia, Anya?”, jelas Pak Kepsek dan bertanya
padaku.
Dan akupun menjawab dengan
perasaan kaget.
“Mmm… insya Allah, Pak saya
bersedia mengikuti OSTN Fisika tersebut untuk mewakili sekolah ini”, jawabku.
“Baiklah, terima kasih. Oh,
iya. Hadiah juara pertama dari OSTN Fisika itu adalah mendapatkan beasiswa
kuliah di Amerika Serikat, tepatnya Harvard University. Maka dari itu
berusahalah kamu dengan baik demi mencapai cita-citamu yang ingin berkuliah
disana. Bapak tahu kamu ingin sekali kuliah disana”, jelas Pak Kepsek kepadaku.
Mendengar penjelasan dari pak
kepsek, aku sangat senang sekali mendengar hadiah pemenang pertamanya. Karena,
memang dari dulu aku sangat ingin sekali berkuliah di Harvard university itu.
Tapi, aku sadar karena aku tidak mungkin dapat memenuhi segala biaya untuk
kuliah disana, maka dari itu pupuslah sudah harapanku itu. Tetapi, sekarang aku
mempunyai kesempatan untuk dapat berkuliah disana dengan mendapatkan beasiswa.
Dan akupun mulai bersemangat kembali demi mencapai cita-citaku dan membanggakan
ayahku yang telah bersusah payah mencukupi kebutuhanku.
“Baiklah kalau begitu, Pak.
Saya akan berusaha keras demi mencapai cita-cita saya dan membanggakan sekolah
ini”, ujarku.
“Sekali lagi terima kasih,
Anya. Bapak percaya kamu dapat memberikan yang terbaik untuk sekolah ini dan
mencapai semuanya. Maka berusahalah dengan sebaik-baiknya”, jawab Pak Kepsek.
“Baik, Pak. Insya Allah saya
akan memberikan yang terbaik, Pak”, ujarku.
Dan akupun keluar dari
ruangan kepala sekolah dengan perasaan gembira.
“Akhirnya, Allah membuka
jalan untukku”, ujarku dalam hati.
Dan sejak saat itu aku
memulai persiapanku untuk menghadapi OSTN Fisika tersebut. Dan juga pastinya
dengan bantuan kedua sahabatku.
***
Akupun pulang dari sekolah dengan
semangat untuk memberitahu kepada ayah bahwa aku bisa kuliah di Amerika dengan
mengikuti OSTN Fisika dan mendapat juara pertama.
Sesampainya di rumah aku
melihat ayah baru saja pulang dari kerjanya dengan wajah dan badan yang lusuh.
Aku menangis melihat betapa dengan susah payahnya ayah bekerja demi mencukupi
semua kebutuhanku. Dan aku menyampaikan pada ayah bahwa aku akan mengikuti OSTN
Fisika dan yang juara pertamanya akan mendapatkan beasiswa kuliah di Amerika
Serikat, tepatnya di Harvard University.
Ayahku menjawab
“Alhamdulillah, Nak. Manfaatkanlah kesempatan itu dengan baik demi mencapai
keinginanmu. Ayah sadar, ayah tidak akan mungkin bisa menguliahkanmu kesana.
Maka, berusahalah Nak dengan baik. Ayah akan selalu mendoakan yang terbaik
untukmu, Nak. Karena, hanya itu yang dapat ayah lakukan untukmu”, ujar ayahku.
Akupun menangis dengan
memeluk kaki ayahku dan berkata,
“Baiklah, Ayah. Anya akan
berusaha dengan sebaik mungkin demi rasa sayang Anya pada ayah dan juga demi
mencapai keinginan Anya yang sudah lama Anya inginkan”, jawabku.
***
Berhari-hari terlewatkan
sampai tiba saatnya untuk aku pergi mewakili sekolahku untuk mengikuti OSTN
Fisika.
Dan akupun telah mempersiapkan
diri dengan sebaik mungkin. Akupun masuk dan mengikuti OSTN Fisika dengan
harapan dapat memberikan yang terbaik.
Aku mengikuti tahap demi
tahap dengan lancar dalam mengikuti OSTN tersebut dengan baik. Sampai akhirnya
aku masuk ke babak final. Dengan perasaan yang tenang aku menjawab dan
menyelesaikan semua soal-soal dan pertanyaan-pertanyaan OSTN Fisika di babak
final tersebut dengan baik dan benar.
Dan sampai akhirnya aku
keluar sebagai pemenang pertama yang berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di
Amerika tepatnya di Harvard University.
Aku bersujud syukur kepada
Allah atas segala yang telah Allah berikan padaku.
***
Aku bergegas pulang ke rumah
untuk membawakan sebuah pembuktian piala kepada ayahku. Namun, ketika aku baru
sampai di depan rumah, tetanggaku mengatakan bahwa ayahku sudah meninggal tadi
tertabrak mobil ketika hendak menyeberang pulang ke rumah. Sekejap aku
tersentak kaget dengan perasaan hancur dan kacau atas kepergian ayahku. Dan
akupun pergi ke rumah sakit untuk melihat jasad ayahku.
***
Sesampainya aku di rumah sakit aku memeluk
jasad ayahku yang telah terbujur kaku berlumuran darah.
“Ayah… kenapa ayah
meninggalkan Anya sendiri, Yah. Anya kemarin janji Anya akan membawakan piala
kemenangan dan Ayah akan melihat Anya menjadi anak yang sukses dengan kuliah di
Amerika Serikat, dan juga mendapatkan beasiswa kuliah disana, Yah. Ini Anya
sudah bawakan apa yang ayah harapkan dan Anya janjikan, Yah. Anya sudah menepatinya,
Yah. Lihat ini, Yah!!”, jelasku mengatakannya pada jasad ayah dengan isak
tangisku. Air mataku kian deras membasahi kedua pipiku.
Aku tersadar, mungkin ini
yang Allah kehendaki. Allah mungkin tidak mengizinkan ayah untuk melihat aku
menjadi anak yang sukses. Tapi, aku yakin ayah dan ibu juda dapat melihat aku
menjadi anak yang sukses dari alam sana.
***
Selepas ayahku meninggal aku
diangkat menjadi anak oleh orang tua sahabatku yaitu Anisa. Aku beruntung
sekali memiliki orang tua angkat seperti orang tua Anisa itu. Mereka semua
sangat baik dan menyayangiku. Dan juga Keluarga mereka amat sangat tercukupi
kebutuhannya. Berbeda sekali denganku dulu. Apapun yang aku minta pada orang
tua angkatku ini pasti diberikan dengan senang hati. Tapi, semua kemewahan ini
tidak memberikan kebahagiaan yang sempurna karena ayahku tidak ada. Meskipun
begitu, aku telah menyadari kalau itu sudah takdir dari Allah yang tidak dapat
kurubah. Aku tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan atas kepergian
ayahku. Sekarang aku harus memulai hidupku yang baru dengan keluarga baru,
semagat baru, dan semuanya yang baru.
Papanya Anisa sayang sekali
padaku. Beliau sering sekali mengajakku ketoko buku favoritnya dan juga
mengajakku jalan-jalan. Katanya sih supaya aku gak bosan tinggal bersama
keluarganya dan juga aku banyak sekali dibelikan buku-buku pelajaran agar aku
lebih giat lagi dalam belajar dan mendapatkan tambahan ilmu dari buku-buku
tambahan tersebut.
***
Keesokan harinya aku pergi ke
sekolah bersama Anisa. Kami berdua diantar oleh Pak Mudin. Pak Mudin adalah
supir pribadinya Anisa. Dan sekarang juga menjadi supir pribadiku. Aku bahagia
sekali. Aku mulai menikmati segala yang aku dapat dari orang tua angkatku.
Dan kami berduapun berangkat ke sekolah
diantarkan oleh Pak Mudin.
Setelah beberapa menit
kamipun tiba disekolah. Aku masuk sekolah dengan perasaan senang sekali. Aku
melewati kegiatan-kegiatanku disekolah dengan penuh senyuman dan keikhlasan.
Tak terasa bel tanda
pulangpun berbunyi.
Teeeeeeeeettt……
teeeeeeetttt……
Seluruh siswa di sekolahku
langsung bergegas keluar kelas dan menuju rumah mereka masing-masing. Sementara
aku masih sibuk memasukkan buku-bukuku kedalam tas. Anisa tidak sabar, dia
sudah mendesak-desakku untuk cepat. Karena jika tidak ia akan terlambat untuk
les piano.
“Duuuh… Anya bisa dipercepat
gak??. Aku keburu telat nih les pianonya”, ujar Anisa sambil berdiri di depan
pintu kelas.
“Iyaa…bentar”, jawabku.
Dan akupun keluar kelas
dengan bawaan buku catatan fisikaku.
“Cepet yuuk!!!”, ajak Anisa
sambil membukakan pintu mobil.
Akupun teringat kalau hari
itu sepulang sekolah aku harus ke rumahnya Monika dulu. Dia ingin meminjam
catatan fisikaku. Dan juga dia ingin aku mengantarkannya kerumahnya. Karena dia
kemarin waktu pelajaran fisika dia tidak hadir, karena sakit.
“Eh iya, Nisa. Aku mau
kerumahnya Monika dulu. Dia mau meminjam catatan fisikaku. Soalnya diakan
kemarin gak datang, diakan sakit kemarin itu, Nis. Kamu duluan aja ya !”,
ujarku pada Nisa.
“Yaaaelaaah!!!!. Kamu nih,
Anya. Kenapa gak bilang dari tadi. Kan aku bisa langsung pergi les. Sekarang
jadinya aku telat nih Anya. Duh…kamu gimana sih Anya??” , ujar Anisa padaku
dengan sebelnya.
“Iyaa…sorry. Tadi aku lupa.
Ya udah. Kamu duluan aja gih!. Ntar nambah telat tuh!” , suruhku.
“Ya. Aku duluan yah. Udah
telat nih”, ujar Anisa.
“Okeh”, jawabku.
“Jalan, Pak!”, ujar Anisa
pada Pak Mudin.
“Daaaahhh…”, ujarku.
Dan Anisapun pergi pulang
duluan.
Akupun pergi kerumah Monika
untuk mengantarkan catatan fisikaku kepada Monika. Kebetulan rumah Monika tidak
jauh dari sekolahku.
Akupun sampai dirumah Monika.
Dan memberikan catatanku padanya. Selepas itu, aku langsung pulang kerumah
dengan berjalan kaki.
***
Sesampainya aku dirumah Papaku
sudah menungguku di depan rumah.
“Anya. Kok lama kamu pulang?”,
Tanya Papa padaku.
“Iya, Pa. Tadi Anya ke rumah
temen dulu, ngantarin catatan. Temen Anya gak dating waktu itu. Dia sakit, Pa.
Makanya dia minta tolong sama Anya untuk nganterin ke rumahnya. Gitu, Pa”,
jelasku pada Papa.
“Tapi kenapa kamu gak dianterin
Pak Mudin aja tadi? ”, tanya Papaku lagi padaku.
“Tadi itu Anisa buru-buru.
Katanya dia mau les piano dan itu udah telat. Makanya Anya sendiri aja. Kasihan
ntar Anisa tambah telat les pianonya”, jelasku pada Papa.
“Oh.. ya sudah. Lain kali
kamu kalo mau pergi-pergi bilang sama Papa dulu yaa!. Supaya Papa gak
khawatir!. Dan juga kamu kalo mau kemana-mana sama Pak Mudin saja! Ya Anya?”,
ujar Papaku.
“Iya, Pa. Maaf ya tadi Anya
mau pergi gak bilang dulu. Lupa tadi Anya, Pa”, jawabku.
“Iya. Tapi, kalopun paginya
lupa bilang, telpon saja!. Kan Papa sudah membelikan kamu handphone kemarin”,
ujar Papaku.
“Oh, iya. Nanti Papa bilang
sama Anisa kalau dia sudah pulang jangan biarin kamu pergi sendiri”, tambah
Papaku.
“Gak apa-apa kok, Pa. Anya
kan udah gede, jadi gak papalah pergi sendiri”, ujarku.
“Gak bisa. Kamu tuh kalo
kemana-mana harus sama Pak Mudin!. Ya Anya”, jelas Papa padaku.
“Iya, Pa”, jawabku.
“Ya sudah. Kamu mandi saja
dulu, terus turun ke bawah untuk makan malam bersama!”, suruh Papa padaku.
***
Dan akupun naik ke lantai dua
menuju kamarku untuk mandi. Beberapa menit kemudian aku siap mandi dan akupun
bergegas untuk turun ke bawah dan makan malam bersama Mama, Papa dan juga Anisa.
Akupun sampai di meja makan. Aku kira Anisa sudah berada di meja makan
tersebut, tetapi ternyata Anisa belum juga pulang. Akupun bertanya pada Papa.
“Pa.. Anisa mana? Kok gak
makan? ”, tanyaku.
“ Lah, memangnya dia belum
pulang ya?”, Tanya Papaku lagi membalik pertanyaanku.
“Gak tau, Pa. Anya kira tadi
Anisa udah pulang”, jawabku.
“Ya sudah. Kita tidak usah
menunggunya untuk makan, makan saja kita duluan. Paling dia sudah makan di luar
sana”, jelas Papaku.
“Tapi, Pa. Apa tidak kita
tunggu saja sampai Anisa pulang. Nanti ngambek Anisanya, Pa”, ujarku.
“Tidak usah!”, jelas Papaku
sambil mengambilkan piring untukku.
Dan kami semua makan.
Setelah beberapa menit kami
makan Anisapun pulang.
“Aku pulang”, ujar Anisa.
Melihat kami semua sedang
makan Anisa pun mengerutkan keningnya dan menampakkan mimic wajahnya yang
cemberut.
“Kok Papa, Mama, dan kamu
Anya sudah makan duluan, kalian tidak menunggu Nisa? ”, Tanya Anisa.
“Kamu lama sekali pulang
darimana saja kamu sepulang les piano?. Les piano kamu kan siapnya pukul lima
sore. Jam berapa sekarang ini”, ujar Papaku.
“A..a..a..a.. Nisa tadi pergi
ke rumah teman, Pa”, jawab Anisa.
“Hah.. kamu ini. Sudah duduk
sini makan!”, suruh Papaku dengan sedikit marah.
Dan Anisa pun menjatuhkan tas
sekolahnya.
“Gak!!. Nisa gak mau makan”,
marah Nisa.
“Dan juga. Kenapa sih Papa
semenjak Anya ada di sini selalu ngebelain Anya. Dan Papa tuh waktunya banyak
buat Anya aja. Buat Nisa udah gak ada. Papa jahat!!”, marah Nisa lagi sambil
berlari menaiki tangga menuju kamarnya.
Aku menjadi merasa bersalah
atas apa yang diucapkan oleh Anisa tadi. Tapi aku menyimpannya dalam hati dan
aku saja nanti yang minta maaf sama Anisa kalau memang semuanya salah aku.
***
Setelah aku siap makan malam
akupun naik keatas untuk pergi kekamar Anisa dan bertanya sekaligus meminta
maaf padanya kalau memang semua ini salah aku.
Akupun sampai di depan pintu
kamar Anisa dan mengetuk kamarnya dengan membawakan makan malam untuknya.
“Anisa…”, panggilku.
Aku tak mendengar jawaban
dari dalam kamarnya. Dalam pikiranku mungkin Anisa sudah tidur.
“Oh.. kamu udah tidur ya? Ya
udah ini makan malam untuk kamu, aku letakkan di meja depan kamar kamu ya”,
ujarku.
Setelah aku meletakkan
makanan untuk Anisa, akupun masuk ke kamarku dan bergegas tidur. Karena aku
pada saat itu sudah mengantuk sekali, padahal besok itu weekend. Dan akupun
tidur.
***
Tak terasa sudah lama aku
tinggal di rumah orang tua angkatku. Dan akupun tamat dari SMAN 01, Jakartaku
itu.
Hingga tiba waktunya untukku
berangkat melanjutkan pendidikanku di Amerika Serikat, tepatnya di Harvard
University dengan beasiswa yang kudapat ketika aku menjuarai OSTN Fisika di
kelas dua SMA lalu. Dan akupun bersiap-siap memasukkan semua barang-barang dan
baju-baju yang aku perlukan untuk pergi kesana dan memasukkannya ke dalam
koperku. Setelah aku membereskan semua barang-barangku, akupun turun kebawah.
Papa, Mama, dan juga Anisa pergi mengantarkanku ke bandara. Kamipun pergi ke
bandara dengan menggunakan mobil.
Setelah setengah jam kamipun
sampai di bandara.
“Anya. Apa sudah lengkap
semua bawaan kamu?. Paspornya kamu sudah bawakan? ”, tanya Papaku.
“Sudah, Pa.” jawabku sambil
memasukkan tanganku kedalam tas tentenganku untuk mengambil pasporku.
Akupun kaget ketika aku
mencari-cari pasporku di tasku ternyata tidak ada. Padahal tadi sudah jelas
sekali aku memasukkan pasporku itu kedalam tasku ini. Dan anehnya juga susunan
barang-barang di tasku ini sudah berubah menjadi berantakan dan tidak tersusun
lagi. Padahal juga tadi barang-barang di tasku tersusun rapi. Tapi, aku
mengacuhkannya saja. Aku berpikir mungkin hanya perasaanku saja.
“Tapi.. kok paspornya gak ada
ya?”, tanyaku dengan panik. Karena jika tidak ada paspor aku tidak akan bisa
berangkat ke Amerika.
“Astagfirullah, masa tidak
ada, Anya?. Coba cari baik-baik lagi. Kamu sudah membawanya tadi?”, tanya
Papaku.
“Gak ada, Pa. Udah, Anya sudah
mencarinya berkali-kali tapi tetap saja tidak ada. Iya, Pa. Anya sudah
membawanya tadi”, jawabku dengan panik.
“Ya sudah. Kamu tidak usah
panik. Papa mau menghubungi orang yang mengurus beasiswa kuliah kamu di
Amerika”, ujar Papaku.
Dan Papakupun pergi
menghubungi orang tersebut.
Tak lama kemudian Papaku
selesai menelpon. Dan Papaku mengahampiriku.
“Alhamdulillah, Anya. Kamu
tetap bisa berangkat ke Amerika. Orang yang tadi Papa hubungi menerima alasan
kamu karena paspor kamu hilang. Tapi, beberapa hari nanti akan ada paspor yang
baru untuk kamu”, jelas Papaku.
“Alhamdulillah.. makasih ya
Allah. Makasih juga, Pa. Anya beruntung sekali memiliki orang tua angkat
seperti Papa”, ujarku sambil memeluk Papa dengan perasaan syukur dan senang.
“ya sudah.. kamu masuk sana.
Sepertinya pesawatnya sudah datang. Baik-baik disana dan tuntutlah ilmumu
dengan baik di sana. Jangan lupa telpon Papa dan jaga dirimu baik-baik
disana!”, ujar Papaku sambil memelukku.
“Baik, Pa”, jawabku.
Akupun berpamitan kepada
Mamaku dan Anisa. Tapi, anehnya Anisa begitu cuek denganku dia mengacuhkanku
begitu saja. Tapi, aku tetap tersenyum dengannya. Mungkin dia hanya kecapean
saja.
“Pa, Ma, Nisa. Anya pergi
dulu ya”, ujarku.
“Iya.. jaga dirimu baik-baik,
Nak!”, jawab Papaku.
“Iya, Pa”, jawabku.
Dan akupun pergi menuju
pesawat tujuanku.
Aku pergi ke Amerika Serikat
untuk kuliah di sana. Tapi, dalam hatiku aku masih bingung siapa yang mengambil
pasporku.
“Siapa ya yang mengambil pasporku?.
Tapi, ya sudahlah semoga Allah memberikan petunjuk dan memaafkan kesalahan
orang yang mengambil pasporku ”, ujarku dalam hati sambil berjalan menuju
pesawat tujuanku.
Dan pesawat tujuan Amerika
pun berangkat. Akupun berangkat menuju Amerika Serikat untuk melanjutkan
pendidikanku di sana tepatnya di Harvard University dengan perasaan senang aku
berharap aku dapat menjadi orang yang sukses dan juga dapat membanggakan kedua
orang tua kandungku dan kedua orang tua angkatku. Amiin.
***
Jadi, jika Anda ingin sukses
awali dahulu dari sebuah mimpi
kemudian iringi dengan usaha keras,
kemudian dengan usaha itu mimpi Anda akan menjadi sebuah kenyataan.
KARYA: EKA
RAHMADIANINGSIH
X
SITI HAWA
SMAIT
AL-ITTIHAD
0 Coments:
Posting Komentar